Belakangan istilah jihad kembali menyeruak dalam polemi internasional, menyusul orasi ilmiah Paus Benekdiktus XVI di Universitas Rosenburg, Jerman, 12 September lalu. Mengutip ucapan seorang Kaisar Bezentium Paus mengatakan bahwa Islam merupakan agama yang disebarkan dengan jihad kekerasan, dengan pedang.
Tidak bisa diingkari bahwa jihad dalam pengertian yang paling sederhana dan popular adalah berjuang dengan pedang, perang. Lihat saja kitab-kitab fikih, semuanya mengartikan jihad adalah perang, qital, harb, adu kekuatan fisik dan senjata yang ujungnya adalah kematian, baik di pihak lawan atau diri sendiri.
Bukan berarti bahwa pada fuqaha tidak tahu bahwa perang (qital) hanya salah satu dari makna jihad. Di dalamnya ada pengertian yang jauh lebih mendasar, lebih halus, tapi sekaligus lebih tuntas hasilnya. Yakni, apa yang oleh Rasullah disebut dengan jihad akbar. Yakni, jihad mengalahkan hawa nafsu, untuk memenangkan keluhuran budi, atau kemuliaan akhlak.Boleh jadi, mengapa kitab-kitab fikih serempak mengartikan jihad dengan perang, bukan mengendalikan hawa nafsu, barangkali karena itulah konsep jihad yang memerlukan regulasi-regulasi, aturan-aturan main ketat, detail, dan dingin yang memang menjadi domain kepedulian para fuqaha.
Bahwa kenyataanya pengertian jihad secara fikih itu berakibat pada penyempitan makna jihad dan menggesernya menjadi dan hanya bermakna kekerasan (perang), adalah sesuatu yang tampaknya memang tidak pernah dimaksudkan oleh mereka sendiri.
***
Seperti dikenal luas, Rasullah SAW pernah bersabda kepada pasukan perangnya yang baru pulang dari Perang Badar yang teramat berat.”kalian baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad akbar”. Para sahabat terperanjat, bertanya-tanya dalam hati, apakah ada jihad yang lebih akbar dibanding peperangan yang baru saja mereka selesaikan. Rasullah menjawab,”perang akbar adalah perang mengalahkan diri sendiri, jihad alan nafs.”
Seperti mudah dipahami, perang bertujuan mengalahkan musuh, atau dalam bahasa positifnya merebut kemenangan atas pihak lain. Kalau ditelisik, kemenangan itu ada tiga tingkatan, sesuai dengan sasaran yang hendak ditaklukan sekaligus potensi yang dimiliki manusia sendiri. Dengan demikian, jihad pun bisa dibagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, jihad fisik untuk mengalahkan pihak lain secara fisik dan dengan menggunakan kekuatan dan alat yang juga bersifat fisik, kepalan tangan, pedang, atau rudal. Semua bangsa, semua komunitas, termasuk komunitas agama, pernah terlibat kategori ini, dalam ukuran yang berbeda-beda. Alasannya beragam, eksistensi diri atau sekedar meneguhkan hegemoni diri.
Izin perang yang diberikan Islam kepada umatnya pun terbatas pada pertahanan diri. Tidak lebih. Bahkan, ditegaskan, jika kalian mau membalas serangan, balaslah sepadan dengan tindakan lawan, dan jangan melebihi. Bahkan, apabila kalian bisa menahan diri, tidak melakukan serangan balik, itulah lebih baik (An-Nahl [16]: 126).
Mengapa jihad fisik merupakan jihad paling rendah? Itu karena kemenangan yang diperoleh pun sebatas kemenangan lahiriyah, fisik dari lawan. Orang secara fisik bisa saja dikalahkan. Tetapi, secara pikiran belum tentu. Kemenangan dalam pemikiran terang lebih unggul daripada sekadar kemenangan fisik biologis. Jihad pemikiran (jihad fikri) – jihad kategori kedua, adalah jihad dengan keunggulan ilmu pengetahuan.
Sementara itu, orang boleh saja dikalahkan secara fakir dan ilmu pengetahuan. Tapi, belum tentu dalam hati dia ikhlas mengakui keunggulan lawan dan menjadikanya anutan. Dia bisa saja membuat perhitungan, untuk suatu saat membantainya dengan senjata ilmu pengetahuan dan pemikiran yang lebih unggul.
Adalah jihad kategori ketiga, jihad untuk mengalahkan hati orang dengan keluhuran budi sebagai jihad dengan kemenangan yang paling sejati. Orang yang dikalahkan hatinya, bukan saja secara ikhlas mengaku kalah, tapi sekaligus secara ikhlas akan menjadikan sang pemenang sebagai pahlawan dan anutan bagi dirinya sendiri. Inilah jihad dengan martabat tertinggi, yang oleh Rasullah disebut jihad akbar, dengan hasil kemenagan yang juga akbar.
***
Puasa tidak dimaksudkan lain kecuali sebagai penyegaran semangat jihad akbar untuk merebut kemenangan sejati melalui keluhuran budi. Intinya adalah pengendalian diri dan kesediaan untuk berbagi dengan sesama, terutama yang kurang beruntung. Kesediaan menghindari makan, makan, minum, dan sejenis, bahkan ketika dalam kesendirian, adalah latihan untuk membangun etos.
Oleh Drs. KH Masdar F. Mas’udi MA