Kalau kita memperhatikan sejarah, tampaklah bahwa kemunculan 'tren' tasawuf selalu mengiringi kondisi masyarakat Muslim yang tidak seimbang. Ataukah terlalu sibuk dengan urusan dunia dan melupakan akhirat, terlalu semangat dengan ilmu tanpa peduli amal, terlalu fanatik terhadap syariat tanpa peduli ruhnya, atau terlalu mulia bicara tanpa peduli tengiknya perilaku.
Tasawuf, seperti bisa kita pahami dari ungkapan-ungkapan para tokohnya, merupakan jalan menuju Allah melalui akhlak yang mulia. Metode para sufi adalah membersihkan hati dan memperhalus budi. Contoh dan teladan mereka adalah Rasulullah SAW yang berbudi luhur dan menyatakan bahwa ia diutus Allah semata-mata untuk menyempurnakan akhlak.
Kehidupan yang serba materi, keberagamaan yang serba daging, dan tata pergaulan yang serba didasari kepentingan, ternyata telah membuat masyarakat seperti sakit jiwa. Ketidaknalaran meruyak menghinggapi sektor-sektor kehidupan hampir tanpa kecuali. Yang paling mencolok adalah ketidaknalaran dalam kehidupan berpolitik. Maka, para pakar pun sibuk berdiskusi dan melemparkan teori-teori reformasi dan perbaikan.
Lalu, apa yang ditawarkan tasawuf? Melihat kondisi yang seperti itu, tasawuf menawarkan reformasi dan perbaikan mulai dari pondasi Akhlak. Perbaikan ala tasawuf adalah perbaikan dari dalam diri. Sufi-sufi besar tidak hanya melakukan-dan telah berhasil melakukan- perbaikan diri, tapi sebagaimana dicontohkan pemimpin agung mereka Nabi Muhammad SAW, mereka juga berjuang untuk membantu masyarakat dengan cara mendidik mereka dan melakukan kontrol terhadap para penguasa.
Akhlak yang mulia, telah berhasil menorehkan catatan dengan tinta emas pemerintahan Umar Ibn Abdul Aziz dalam lembaran sejarah Dinasti Umayyah. Umar sang khalifah, sebagai penguasa, telah berhasil 'mereformasi' diri-nya dengan meretas akar keburukan: menempatkan materi dan dunia di puncak perhatian. Mendudukkan materi dan dunia di tempatnya yang sebenarnya adalah yang pertama-tama diupayakan khalifah yang dijuluki Umar Kedua ini, setelah sebelumnya ditempatkan di tempat yang terlalu tinggi dan penting.
Maka, tidak heran apabila ada yang menyebut Umar Ibn Abdul Aziz sebagai khalifah kelima dari Khulafa' Rasyidiin.
Tanpa menyebut nama tasawuf atau sufi sekali pun, kiranya kita bisa sepakat bahwa akhlak atau budi pekerti merupakan jawaban paling asasi bagi mereformasi diri dan negeri kita ini. Anda bayangkan saja, apabila para pemimpin, petinggi, dan para politisi di negeri ini berakhlak mulia. Berbudi luhur; jujur, berani mengaku salah, punya malu, tahu diri, berhati bersih, rendah hati, penuh kasih sayang, dermawan, tidak culas, tidak serakah, tidak hasud, tidak sombong; dst. Namun, bagaimana itu bisa menjadi kenyataan bila mereka masih menganggap dunia ini sebagai tujuan hidup dan materi adalah hal penting nomer wahid?
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri
Penulis adalah pemimpin Pondok Pesantren Roudhotut Thalibin, Rembang.